Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang wanita tua bernama Ummu Dhuha. Ibu Dhuha adalah seorang penjual roti keliling yang sederhana, tetapi sangat dihormati oleh penduduk desa. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, ia sudah bangun dan mulai memanggang roti di rumah kayunya yang kecil. Meski usianya sudah lanjut, tangan-tangan keriputnya tidak pernah lelah membuat roti dan berjalan keliling desa menjual dagangannya.
Ummu Dhuha hidup bersama anak bungsunya, Zainab, yang sudah menikah dan tinggal di desa lain. Suami Ummu Dhuha telah lama meninggal, meninggalkan ia dan dua anaknya untuk berjuang sendiri. Namun, meskipun hidupnya tidak mudah, Ummu Dhuha selalu bersyukur dan menjaga sikapnya penuh semangat.
Suatu pagi yang cerah, Ibu Dhuha melangkah keluar dari rumahnya dengan keranjang roti di tangan. Roti yang baru saja dipanggang itu masih hangat, dan baunya menguar di udara, menambah semangat dalam langkahnya.
Di jalan, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama Ibrahim, yang sedang membawa kayu untuk kebutuhan keluarganya. Ibrahim baru saja kembali dari kota dan baru pertama kali melihat Ibu Dhuha. Dengan rasa ingin tahu, ia pun menghampiri.
“Assalamu’alaikum, Ibu,” sapa Ibrahim dengan sopan.
“Wa’alaikumussalam, Nak Ibrahim. Bagaimana perjalananmu?” jawab Ummu Dhuha sambil tersenyum hangat.
“Alhamdulillah, Ibu. Sungguh luar biasa melihat semangat Ibu yang terus berjualan roti meskipun usia sudah tak muda. Apakah Ibu tidak lelah?” tanya Ibrahim dengan rasa kagum.
Ummu Dhuha tertawa pelan, “Lelah? Tidak, Nak. Justru dengan bekerja, aku merasa hidupku penuh berkah. Setiap langkah yang aku ambil, aku berharap bisa membantu orang lain, sekecil apapun itu.”
Ibrahim tertegun mendengar jawaban Ibu Dhuha. Ia menyadari bahwa di balik senyum dan kesederhanaan Ibu Dhuha, ada kekuatan yang luar biasa.
Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di rumah seorang wanita bernama Ummu Salim, yang merupakan sahabat lama Ibu Dhuha. Ummu Salim adalah seorang ibu muda yang hidup dengan suaminya yang bekerja sebagai petani. Mereka tinggal dalam rumah kecil di pinggir desa, dan meskipun hidupnya serba kekurangan, Ummu Salim selalu berusaha membuat kehidupan mereka bahagia.
“Ibu Dhuha, pagi ini saya ingin membeli beberapa roti,” ujar Ummu Salim saat melihat Ibu Dhuha datang.
“Saya bawa roti hangat, Ummu Salim. Ini untuk keluarga kecilmu,” jawab Ibu Dhuha dengan lembut, menyodorkan roti-roti itu.
“Terima kasih, Ibu. Roti dari Ibu selalu terasa lebih istimewa. Meski hidup kami tidak banyak, rasanya seperti mendapatkan berkah setiap kali Ibu datang,” kata Ummu Salim sambil memeluk Ibu Dhuha.
Di saat yang sama, anak perempuan Ummu Salim yang bernama Mariam, berlari mendekat dan memeluk kaki Ibu Dhuha. “Ibu, Ibu… roti Ibu selalu enak! Boleh minta satu lagi, supaya saya bisa berbagi dengan teman-teman?” tanya Mariam dengan ceria.
Ummu Dhuha tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Nak Mariam. Berbagi itu indah.”
Setelah berpamitan dengan Ummu Salim dan Mariam, Ibu Dhuha melanjutkan perjalanan menuju pasar desa, di mana ia sering berjualan roti. Di sana, ia bertemu dengan seorang wanita muda bernama Hana, yang bekerja sebagai pedagang sayur.
“Hana, bagaimana kabarmu?” tanya Ibu Dhuha dengan penuh perhatian.
“Alhamdulillah, baik, Ibu. Tapi saya sedikit bingung, karena ada banyak orang yang membeli sayuran hari ini, namun harga saya harus menurun. Saya khawatir tidak bisa menghidupi keluarga,” keluh Hana, matanya tampak cemas.
Ibu Dhuha memandang Hana dengan bijak. “Nak Hana, hidup ini memang penuh ujian. Tapi ingatlah, yang penting bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa ikhlas kita memberi dan bekerja. Rezeki Allah datang dari berbagai arah. Jangan pernah takut untuk terus berusaha dan berbagi, meski dalam kesulitan.”
Hana terdiam mendengarkan kata-kata Ibu Dhuha. Meski ia masih merasa cemas, ada ketenangan yang muncul di hatinya setelah mendengarkan nasihat itu. “Terima kasih, Ibu. Saya akan berusaha lebih sabar dan tawakal.”
Sore hari, ketika Ibu Dhuha kembali ke rumahnya, Zainab, anak bungsunya, sudah menunggu dengan secangkir teh hangat. “Ibu, bagaimana hari ini?” tanya Zainab.
“Alhamdulillah, baik. Banyak orang yang memberi doa dan senyuman. Tangan ini memang sudah tua, tetapi hatiku masih penuh semangat,” jawab Ibu Dhuha sambil duduk di kursi kayu tua.
Zainab menatap ibunya dengan penuh kekaguman. “Ibu, meskipun hidup kita sederhana, aku selalu merasa beruntung memiliki ibu seperti Ibu. Ibu mengajarkan kami untuk bekerja keras, namun tetap sabar dan tawakal.”
Ibu Dhuha tersenyum lembut. “Nak, hidup ini memang penuh ujian, tetapi juga penuh berkah. Tangan kita mungkin lelah, tetapi hati yang penuh kasih tidak akan pernah berhenti berusaha. Tuhan selalu memberikan jalan bagi mereka yang bersabar dan berusaha dengan ikhlas.”
Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk terus berbuat kebaikan, sekecil apa pun, karena Allah selalu melihat usaha hamba-Nya. 🌿